News Trending
Diberdayakan oleh Blogger.

Fenomena Shōshika di Jepang! Mungkinkah populasi Jepang terancam punah??

Angka rata-rata anak dalam 1 rumah hanya 1.39!

Shōshika (少子化)merupakan istilah dari penurunan jumlah anak. Saat ini fenomena Shōshika di Jepang menjadi salah satu masalah besar bagi Jepang. Bagaimana tidak, bayangkan saja apa yang akan terjadi bila angka kelahiran di Jepang setiap tahunnya menurun?
Rasio jumlah kelahiran di Jepang pada tahun 2010 jatuh pada angka 1.39. Jika dibandingkan dengan baby boom pertama di tahun 1947 – 1949 yang jatuh pada angka 4.32 dan baby boom kedua di tahun 1971 – 1974 sebesar 2.14, penurunannya terlihat begitu mencolok bukan? Meski dibandingkan dengan Swedia yang angka kelahirannya sebesar 1.94 atau Perancis dengan angka kelahiran 2.00, tetap saja angka di Jepang lebih rendah.

Mengarah pada penurunan populasi tenaga kerja pada 10 juta orang lebih

Mengapa perkembangan Shōshika menjadi suatu problematika? Pertama, di saat wanita “Ingin melahirkan namun tidak bisa melahirkan”, hal itu tentu akan menjadi titik masalah di mana seorang wanita merasa tidak dapat memberikan kebahagiaan kepada keluarganya. Di tambah lagi, dinamika ekonomi di Jepang juga menunjukkan bahwa penurunan populasi disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, Tenaga kerja masa depan berkurang. Contohnya, jumlah pegawai di kantor kabinet hingga tahun 2030 diperkirakan akanmenurun sebesar 10 juta orang. Yang kedua, meningkatnya jumlah lansia, sehingga beban jaminan sosial lansia serta asuransi kesehatan pun juga bertambah. Dibandingkan dengan tahun 2005, di tahun 2025 nanti biaya untuk jaminan sosial diperkirakan akan meningkat dua kali lipat. Selain itu, perkembangan lebih lanjut dari depopulasi atau berkurangnya jumlah penduduk dll akan melahirkan suatu kekhawatiran yang besar. Hmm...

Jumlah Waiting Child Mencapai 25000 Anak, Beban Anak Asuh Bertambah

Lalu, mengapa  fenomena Shōshika semakin meningkat? Secara sederhana, beban mengasuh anak menjadi alasan yang besar dari suatu sudut pandang. Pertama, wanita akan terpaksa berhenti bekerja karena kesulitan untuk mengambil cuti asuh anak ataupun fasilitas penitipan anak. Sebab pada kenyataannya, “Waiting Child” di Jepang berjumlah sekitar 25000 anak. Apa itu “Waiting Child”? waiting child yaitu anak-anak yang tidak dapat diasuh oleh keluarganya dan perlu dititipkan di tempat pengasuhan anak karena alasan kerja atau sakit dll, akan tetapi mereka tidak dapat diterima karena kapasitas tempat asuh yang sudah penuh. Kasihan bukan? Dan bagi wanita hal itu akan menjadikan suatu pilihan yang sulit, “Mengasuh anak, atau kah berkarir?”. Apalagi, setelah adanya anak kedua, kecemasan akan beban asuh dan pekerjaan rumah tangga, atau beban pendidikan dan lain-lain akan menjadi momok bagi sebagian dari mereka. Sebagai akibat berkembangnya masalah Shōshika ini, teridentifikasi pula pada tingkat pengangguran anak muda yang semakin naik, serta penurunan daya asuh keluarga, dan lain-lain.

Lalu, apakah perlu dilakukan tindakan untuk menghentikan laju perkembangan Shōshika? Tentu saja sangat perlu. Butuh sebuah sistem untuk meringankan beban asuh anak, lalu apakah di luar negeri juga diperkenalkan sistem yang demikian?

Tentu saja. Di Perancis, berbagai tunjangan dipermudah untuk usia hingga 20 tahun. Seperti, bebas biaya melahirkan, penambahan biaya pensiun sebesar 10% bagi suami istri yang mengasuh 3 orang anak selama 9 tahun, sehingga prosentase kelahiran di negara tersebut sebesar 1.65 di tahun 1994 kembali pulih di tahun 2002 yaitu di angka 1.88. Kemudian di Inggris, biaya melahirkan maupun perawatan/pengobatan digratiskan, serta diterapkan rencana tabungan bebas pajak khusus untuk Child Trust Fund, dan lain-lain.

Selanjutnya adalah peningkatan sistem cuti asuh anak. Di Sweden, di berlakukan “Jaminan Orang Tua” atau di Indonesia biasa disebut Jaminan Masa Tua, dalam satu setengah tahun mereka akan mendapat jaminan 80% dari pendapatan. Alhasil,  lebih dari 70% wanita yang melahirkan anak memperoleh jatah cuti asuh anak selama satu tahun lebih. 

Selain itu, berkaitan dengan bahasan di atas, perlu untuk terus mendukung kesetaraan gender. Sudah pasti wanita akan dimudahkan untuk mengambil cuti asuh anak, dan lelaki pun perlu untuk menciptakan lingkungan yang memberikan kemudahan terhadap kelahiran dan pengasuhan. Secara konkritnya, kemajuan soal cuti asuh anak untuk kaum laki-laki dan lain-lain sedang dalam perkembangan.

Sementara di Jepang, tindakan apakah yang sudah dilakukan? Kita lihat saja contoh suksesnya, di Yokohama tindakan terhadap “Waiting Child” bisa dibilang sangat berhasil. Di mana Yokohama merupakan kotamadya di Jepang yang paling buruk dengan jumlah populasi Waiting Child sebanyak 1552 orang, dan berhasil mengurangi populasinya menjadi 179. Secara konkrit, diberikanlah kemudahan pengasuhan familial yang mengaplikasikan dana bantuan sekolah taman kanak-kanak, lembaga pengawasan pengasuhan (spesialis konsultasi yang berkaitan dengan pelayanan pengasuhan), badan NPO, dan lain-lain. Keren, bukan..

Hmm... memang semua itu didasari oleh pola pikir ya, kalau memikirkan soal finansial, beban asuh, waktu, de el el, sebagian dari kita pasti enggan punya anak, karena ingin merasa lebih bebas juga sekaligus tidak ingin mengecewakan anak yang mereka lahirkan. Tapi jika dipikirkan lagi, bayangkan saja, apalah arti hidup jika tak berusaha untuk memiliki keturunan?? Hilanglah jejak kita.. :O .-.
Cukuplah sampai di sini, kalo diterus-terusin nanti jadi mbulet lagi ceritanya.. :D
Jaa~!!



Source nihonseiji

Share This:

No Comment to " Fenomena Shōshika di Jepang! Mungkinkah populasi Jepang terancam punah?? "